Dompet Oleh R. F. Dhonna Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Malang Titik-titik hujan mulai membasahi tubuh ringkih yang kedinginan itu. Sesekali terdengar ia terbatuk-batuk. Rupanya musim hujan tahun ini membuatnya merasakan betapa tersiksanya jika sedang terserang batuk berdahak. Mungkin ini karma, karena dulu ia sering menghardik Suyatno, rekannya sesama gelandangan. "Heh, ini kuping bisa budek kalau loe dikit-dikit batuk. Diam sebentar kek. Tokek aja bunyinya sejam sekali," ujarnya ketika itu. Di lingkungan pemulung dan gelandangan TPA Kedaeng, pemuda gondrong berusia 20-an itu terkenal dengan nama Gopal. Padahal, nama pemberian orang tuanya cukup bersahaja, Abdul Gofar. Titik-titik hujan itu kini berubah menjadi hujan deras, sesuatu yang membuat kawasan tempat tinggalnya semakin digemari jentik-jentik demam berdarah. Keadaan seperti ini masih untung daripada banjir bah seperti tahun lalu. Ia berharap mimpi buruk yang membuatnya terusir itu tidak akan terulang. Daerah ini memang aneh, kalau musim kemarau dilanda kekeringan, musim hujannya kebanjiran. Gopal mengamati sekitarnya. Teman-temannya sudah terlelap beberapa jam yang lalu. Sedangkan dirinya masih terjaga. Dipandanginya satu persatu wajah lelah mereka. Hatinya galau. Sesaat kemudian ia menengadah ke langit, mencoba mencari jawaban sekali lagi. Tapi yang ia temukan hanya kekecewaan. Bintang-bintang tempatnya bertanya telah tertutup mendung tebal. Kembali Gopal menimang-nimang dompet yang ditemukannya terselip di antara tumpukan sampah kering tadi siang. Dompet cokelat berisi uang ratusan tibu, kartu kredit, dan KTP itu bisa membawa keberuntungan, bisa juga membawa petaka. Gopal heran, mengapa ia tertarik membuka dompet itu, padahal sebelumnya ia tidak pernah seiseng ini. "Mungkin ini yang disebut karunia," batin Gopal mengenang kata-kata ustadz Sholeh, guru ngajinya di kampung. "Dompet ini tidak usah dikembalikan dulu. Jangan-jangan kau dituduh mencuri. Di mata orang kaya, yang namanya gembel tetap saja gembel. Bagi mereka tidak ada isitilah gembel baik. Semua gembel sama menjijikkan!" nasihat bang Jamin, pedagang ketoprak yang kerap muncul di kawasan Kedaeng. Cerita tentang dompet temuan ini memang hanya bang Jamin yang ia beritahu. Gopal mempercayainya karena ia mengenal baik siapa bang Jamin. Lelaki beranak satu itu digelari orator ulung oleh komunitas gelandangan Kedaeng. Wawasannya lebih luas dan kosakatanya yang lebih intelek dibandingkan yang lain ketika berbicara mengundang decak kagum siapa saja yang mendengar pidatonya. Tak heran jika dalam beberapa aksi unjuk rasa dia selalu didaulat menjadi koordinatornya. "Untuk sementara waktu, ada baiknya dompet ini kautitipkan pada abang. Biar lebih aman. Abang tidak akan mengambil atau meminta sepeser pun," lanjut bang Jamin meyakinkan. Gopal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali gigitan nyamuk menghampirinya. Disingkapnya kain sarung sampai tengkuk untuk menghalau dingin atau gigitan serangga kecil yang menyebalkan itu. Dengan kening berkerut, Gopal merenung kembali. Ia mulai mempertimbangkan nasihat bang Jamin. "Saat ini kejujuran sudah kurang dihargai." Kata-kata itu terngiang lagi di telinganya. Sambil membaringkan tubuhnya, ia menyandarkan kepala pada kedua lengannya. Matanya yang mulai terasa berat dikerjap-kerjapkannya, sekadar mengajak berkompromi. Dipejamkannya sejenak tapi sedetik kemudian ia bangkit lagi. Punggung tangannya mendapati cairan kental di lantai yang selama ini menjadi ranjangnya. Dalam gelap, dirabanya cairan itu lalu diendusnya perlahan. Anyir! Dia memaki sambil mengibaskan tangan. Ia tidak bisa menuduh siapa yang meludah sembarangan di tempat tidurnya itu. Karena, akhir-akhir ini hampir semua temannya mengeluh sering demam disertai batuk darah. Tiba-tiba ia terkesiap. Hatinya tergugah oleh naluri kemanusiaannya. Ya, Gopal ingin berbuat baik. Bukankah sebuah kemuliaan seandainya uang itu dipakai untuk mengobatkan teman-temannya ke rumah sakit? Semua akan beres. Tapi ketakutan dengan cepat menyergapnya. Buru-buru niat itu diurungkannya. Kalau ia membawa temannya sebanyak itu ke sana, petugas rumah sakit pasti curiga. Dari mana Gopal mendapatkan uang sebanyak itu? Ia tak dapat membayangkan kalau dirinya dijebloskan ke penjara semuda ini. Oh tidak, tidak! Ditepiskannya bayangan itu. "Aku harus hidup sebagai manusia yang bebas meskipun kehidupan sendiri tidak menganggapku sebagai manusia…" tekadnya dalam hati. Dari kejauhan kokok ayam mulai bersahutan. Fajar hampir tiba. Sebentar lagi, hiruk pikuk kota akan menggilas idealisme dan harga diri seorang Gopal, seperti biasanya. Hari ini, ia sudah memutuskan akan menuruti nasihat bang Jamin. *** Gopal mengingsutkan wajahnya yang sedang disorot kamera televisi. Bukannya malu, tapi ia benar-benar tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba datang segerombolan polisi menggerebek kemudian menginterogasinya bak seorang pesakitan. Padahal, kemarin bang Jamin memintanya untuk tidak pergi jauh-jauh. Karena, ada sebuah stasiun TV yang akan memprofilkan kehidupannya agar setelah melihat tayangan itu para dermawan berbondong-bondong bersimpati padanya. Hanya itu. Gopal dihardik habis-habisan oleh polisi-polisi itu. Dipaksa mengakui kalau ia telah mencopet dompet orang. Merasa tidak melakukannya, Gopal membantah tuduhan itu dengan tegas. Ternyata bantahan itu membuahkan bentakan bertubi-tubi yang semakin memekakkan telinganya. "Sejak awal saya sudah curiga Pak Polisi. Karena tidak mungkin ia mendapat uang sebanyak itu dalam sehari. Setelah saya desak, ia mengakui kalau uang itu hasil mencopet." Tanpa perasaan bersalah bang Jamin membeberkan kesaksian palsunya yang menyudutkan Gopal. Mendengar omong kosong itu, gigi Gopal bergemeretak keras. Celakanya, polisi menangkapnya sebagai perlawanan. Tak pelak lagi, sebuah tendangan terpaksa menghampiri perutnya yang belum terisi sejak pagi. "Saya tidak tahu kalau dompet saya dicopet. Tahu-tahu waktu di depan loket pembayaran, dompet saya hilang," ungkap pemilik dompet ketika ditanya wartawan. "Untung bapak penjual ketoprak ini segera menghubungi saya. Kalau tidak, tahun depan saya tidak bisa berangkat haji," tambah sang pemilik. Merasa dipuji, hidung lelaki tambun itu kembang kempis. "Saya cuma berpesan, hati-hati kalau membawa uang. Sekarang banyak copet yang berlagak seperti pengemis," lanjut lelaki 40 tahun itu bijak. "Dasar penjilat!" maki Gopal dalam hati sambil menatap sosok licik di hadapannya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama memperlihatkan kebenciannya. Karena, sejurus kemudian polisi menyeretnya paksa menuju mobil patroli dengan tangan terborgol. Sepeninggal Gopal, bang Jamin kelihatan lebih sumringah. "Sudah wajah masuk TV, dapat 200 ribu lagi. Makmur dah," ujarnya bahagia. Lelaki itu baru saja membuktikan bahwa gembel tetaplah gembel…